Home » Fiqih » Ushul Fiqih » 006. Syarah Waraqat – Ta’rif Ushul Fiqih dilihat dari Susunan Kata Ushul dan Fiqih

006. Syarah Waraqat – Ta’rif Ushul Fiqih dilihat dari Susunan Kata Ushul dan Fiqih

006. Syarh Waraqat – Ta’rif Ushul Fiqih dilihat dari Susunan Kata Ushul dan Fiqih 

Definisi Ushul Fiqih

(dilihat dari dua kata pembentuknya)

 

Pada pembahasan yang lalu di buku ini, ulasan sudah sampai pada bahasan tentang definisi ushul fiqih yang terbentuk dari kata أصول dan الفقه. Untuk definisi أصول dan الفقه akan dilanjutkan pada bahasan dibawah ini.

 

فَالأَصلُ مَا يُـبنَى عَلَيهِ غَيرُهُ وَالفَرْعُ مَا يُـبنَى عَلَى غَيرِهِ وَالفِقهُ مَعرِفَةُ الأَحْكَامِ الشَرْعِيَّةِ الَّتِي طَرِيقُهَا الِاجْتِهَادُ

Terjemahan:

Al Asl adalah sesuatu yang dibangun di atasnya selainnya. Sedangkan Far’u adalah sesuatu yang dibangun di atas selainnya. Adapun Fiqih adalah pengetahun terhadap hukum syari’at yang bisa dihadirkan dengan jalan ijtihad.

 

Ini adalah definisi awal dari ushul fiqih dilihat dari dua kata yang membentuknya. Kata الفصول merupakan bentuk jamak dari الأصل.

Yaitu ushul dan fiqih. Sebelumnya sudah disampaikan, kata mufrad di sini bukan sebagai lawan dari mutsanna dan jamak akan tetapi sebagai lawan dari tarkib (susunan).

Dalam matan al waraqat, penulis hanya menyebutkan Al Asl. Itu disebabkan kata الفصول sudah bisa difahami bentuk jamak dari الأصل.

 

 

Al Asl secara bahasa adalah sesuatu yang dibangun di atasnya yang lain. Seperti pondasinya dinding yang tersembunyi di dalam tanah. Di atas pondasi tersebut dibangun dinding tersebut.

Pondasi dinding yang tersembunyi dalam tanah dan tidak terlihat, bermakna bahwa dia memiliki peran yang sangat penting.

Contoh lain seperti akar pohon.  ujung dari pohon tersebut yang mengakar kuat di dalam tanah. Allah berfirman:

أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِي السَّمَاءِ [إبراهيم: 24]

Artinya: “Apakah kamu tidak melihat bagaimana Allah membuat perumpamaan kalimah thayyibah seperti pohon yang baik. Akarnya itu tertanam kokoh di bumi dan cabang dari pohon tersebut (baik itu batangnya, rantingnya, daunnya, buahnya) menjulang tinggi di langit”

Definisi ini yang paling baik untuk memaknai kata Al Ashl.

Definisi al Asl di atas adalah definisi yang juga digunakan oleh banyak ulama. Namun kalau mencermati definisi yang disebutkan oleh beberapa ulama lain, seperti imam as Subki, beliau menyebutkan definisi dengan redaksi yang sedikit berbeda. Beliau mendefiniskan al Asl dengan redaksi مَا يَتَفَرَّعُ عَنْهُ غَيْرُهُ (dia menjadi pokok, tempat yang lain bercabang darinya). Definisi imam as Subki ini, oleh sebagian ulama lain dianggap lebih akurat daripada definisi مَا يُـبنَى عَلَيهِ غَيرُهُ.  

Sebagai contoh untuk dua kata ayah dan anak. Anak itu jelas al Far’u. Sedangkan ayah adalah al Asl. Kata ayah dan anak ketika didefnisikan dengan مَا يُـبنَى عَلَيهِ غَيرُهُ agak kurang tepat. Akan menjadi tepat kata ayah dan anak jika didefinisikan dengan مَا يَتَفَرَّعُ عَنْهُ غَيْرُهُ. Ayah sebagai al Asl, turunannya adalah anak. Itulah mengapa sebagian para ulama mendefinisikan al Asl dengan definisi مَا يَتَفَرَّعُ عَنْهُ غَيْرُهُ.

Sedangkan menurut istilah, penggunaan istilah ini ada pada beberapa makna:

  1. Seperti perkataan kami: Asl (dalil) wajib shaum firman Allah subhânahu wa ta’âlâ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ. Kata Asl di sini bermakna dalil. Sehingga makna tarkib ushul fiqih maksudnya dalil-dalil fiqih.

Dalil di sini bisa berupa ayat al Qur’an atau al Hadits. Sebagai contoh tentang shalat tahiyatul masjid. Hukum shalat tahiyatul masjid itu fiqih. Sedangkan ushul fiqih berperan menghadirkan dalil serta menghubungkan dalil tersebut dengan hukum shalat tahiyatul masjid. Inilah peran ushul fiqih dalam penyebutan Asl.    

  1. Kaidahyang berlaku terus-menerus. Seperti perkataan kami: diperbolehkan bangkai bagi orang yang dalam kondisi darurat. Kebolehan tersebut sebenarnya keluar dari hukum Asl.

Istilah lain yang digunakan adalah القائدة المضطرية. Dinamai demikian karena memang penggunaannya seperti itu.

Maksudnya adalah bahwa hukum asalnya itu haram dan ini berlaku untuk terus menerus dalam kondisi normal. Akan tetapi pada kondisi tertentu, bisa keluar dari kaidah. Ungkapan yang umum di kalangan para ulama bahwa kaidah itu berlaku untuk yang mayoritas. Kalau ada pengecualian itu biasa. Ada ungkapan لكل قاعدة استثناء (bahwa setiap kaidah itu ada pengecualian). Pengecualian dari keumuman itu biasa. Yang menjadi tidak boleh adalah logika yang dibangun selalu menggunakan pengecualian (Istitsna). Selalu berbicara kondisi tidak normal. Keluar dari kaidah. Kalau logika pengecualian selalu dikedepankan nanti akan berantakan. Sama berantakannya dengan tidak dibuat kaidah sama sekali. Fungsi dari kaidah itu menata.

Sehingga pada saat menyebut kendaraan, manusia atau menyebut apa pun, penyebutan itu dalam makna yang umum. Berbicara kendaraan yang bernama motor misalnya, umumnya roda dua. Ketika ada yang mengatakan motor itu kendaraan yang tidak beroda dua, itu bermakna keluar dari kaidah yang umum.

  1. Yang Diqiyaskandengan nya. Ini istilah dalam bab

Qiyas ini salah satu bab di antara sekian bab di ushul fiqih. Qiyas itu termasuk salah satu bab paling rumit dalam ushul fiqih. Otot intelektual dan logika harus terasah dan terlatih.   Di dalam qiyas, nanti ada beberapa bahasan. Didalamnya diperlukan kecermatan di dalam menimbang apakah termasuk qiyas apa bukan. Termasuk kemampuan memahami qiyas yang sudah dilakukan oleh ulama terdahulu untuk kemudian dicoba bagaimana penerapannya di kasus kemudian.

Al Asl itu salah satu rukun qiyas. Al asl (المقيس عليه) itu yang pertama, Al far’u (cabang) itu yang kedua, al hukmu (hukum) itu yang ketiga dan al illat itu yang ke empat.

Al Asl disebut pokok atau induknya. Al Far’u disebut cabangnya. Al hukmu disebut hukumnya tentu yang dimaksud hukum syar’inya. Seperti haram. Maka al Asl dan al Far’u hukumnya harus sama. Kemudian al illat. Kadang al illat diartikan sebab walaupun pada beberapa bagian tidak sepenuhnya pas. Akan tetapi penggunaan istilah illat harus mulai kenal. Oleh karena itu saat disebut qiyas, empat istilah itu harus ada. Harus mampu terbentuk dalam benak. Masing-masing istilah tersebut harus bisa ditempatkan pada posisi yang pas.

Contoh kekeliruan dalam berlogika, Allah abadikan dalam ayat riba. Didalam ayat tersebut, orang-orang kafir melakukan dua kesalahan. Pertama, menolak hukum riba. Kedua, keliru dalam berlogika. Mereka menyebutkan البيع مثل الربا. Statement mereka adalah contoh logika yang keliru. Kalau pun benar jual beli itu sama dengan riba seharusnya statement yang muncul dengan logika yang benar adalah riba seperti jual beli. Karena Jual beli adalah al Asl (Induk) sedangkan riba adalah al Far’u (cabang). Karena riba adalah salah satu dari tata cara jual beli yang beragam caranya. Dalam bahasan mu’amalah, tema besar nya adalah jual beli dan riba adalah bagian dari bahasan jual beli tersebut.

Contoh lainnya adalah ketika akan membandingkan masjid Nabawi dengan masjid Suciati di Sleman. Maka statement yang benar adalah menara masjid Suciati mirip seperti menara masjid Nabawi. Bukan menara masjid Nabawi seperti menara masjid Suciati. Karena semua orang tahu bahwa masjid Nabawi ada lebih dulu dibandingkan masjid Suciati.

Inilah salah satu dari sekian banyak manfaat yang bisa didapatkan dari belajar ushul fiqih. Yaitu mengatur dan menata logika. Cara berpikir yang tertata ini akan berpengaruh pada banyak hal.

Adapun Al Far’u adalah sesuatu yang dibangun di atas sesuatu. Seperti cabang pohon dibangun di atas akarnya. Cabang-cabang fiqih itu dibangun di atas ushul fiqih.

Jikalau menggunakan istilah Imam as Subki berarti ما تنفرع عن غيره (sesuatu yang merupakan cabang dari yang lain). Cabang itu bisa bermakna turunan. Kalau pohon bisa bermakna batang dan bagian-bagian lainnya.

Maka agar bangunan fiqih terbangun dengan pondasi yang benar, hendaknya mengasah kemampuan dan melatih dengan baik dalam bidang fiqih, dengan cara menguatkan dan mengokohkan ushul fiqih. Dibiasakan memahami bahwa bahasan fiqih ini merupakan cabang dan turunan dari bahasan ushul fiqih. Logika seperti ini harus dilatih dari awal. Upayakan agar menjadi kebiasaan saat belajar ushul fiqih, setelah selesai satu pembahasan dilatih. Agar kemampuan memahami bahasanbahasan ushul fiqih ini terasa dan semakin faham akan istilah-istilah yang dipelajari.

Pendefinisian al Far’u ini dilakukan – padahal kata al Far’u bukanlah bagian dari kata ushul dan fiqih – karena al Far’u adalah kebalikan dari kata al Asl. Sesuatu akan menjadi jelas dengan sejelas-jelasnya jika disebutkan kebalikannya.

Argumentasi di atas (sesuatu akan menjadi jelas dengan sejelas-jelasnya jika disebutkan kebalikannya) sering dikemukakan oleh banyak ulama. Penyebutan kebalikan dari sesuatu tersebut mampu menjadikan jelas dan ditangkap dengan sangat mudah maksud yang dituju. Seperti Ketika menyebutkan kata siang, untuk memudahkan perlu disebut kata malam. Laki-laki kebalikannya perempuan. Atas kebalikannya bawah.

Contoh lain dalam bahasan tauhid. Kebalikan dari tauhid adalah syirik. Dalam pembahasan syirik, ternyata syirik ada beberapa jenis. Ada cabang-cabang nya. Ada contoh-contohnya. Akhirnya pemahaman terhadap kata tauhid menjadi utuh dan jelas dikarenakan betapa jelasnya bahasan tentang syirik.  

Demikian pula dalam bahasan kata ushul fiqih di sini. Penyusun mendefinisikan al Asl dan al Far’u padahal al Far’u bukan bagian dari pembahasan. Kata yang dibahas ushul fiqih bukan furu’ fiqih. Penjelasan al far’u di sini diaksudkan agar makna al Asl itu semakin jelas dengan cara disebutkan kebalikannya.

Atau bisa juga penulis buku ini bermaksud untuk mengingatkan bahwa Fiqih itu dibangun di atas ushul fiqih. Bagian pertama yaitu ushul merupakan pondasi yang dari situ nanti akan dibangun banyak hal. Sementara bagian yang kedua yaitu fiqih itulah yang menjadi cabangnya. Penyebutan al Far’u itu bukan penyebutan yang cuma lewat begitu saja akan tetapi memang dimaksudkan dengan tujuan. Sebagaimana penjelasan sebagian dari mereka.

Penyebutan dilakukan sengaja dengan maksud untuk memperjelas. Bisa juga dengan maksud jika orang menyebut fiqih agar selalu ingat bahwa fiqih itu dibangun di atas ushul.

Bagian kedua dari tarkib ushul fiqih adalah الفقه (al Fiqh).  Al Fiqh secara bahasa Al fahmu. Maksudnya adalah memahami maksud pembicara dari pembicaraannya. Imam al Jauhari berkata: al fiqh adalah al fahmu. Contoh:فقِه الرجل  (‘ain fiil dibaca kasrah) maknanya seorang laki-laki faham. Kemudian mengerucut menjadi istilah untuk salah satu cabang dari ilmu syari’at. Orang yang ‘âlim tentang fiqih disebut faqih. Adakalanya dibaca فقُه الله وتفقه الله (‘ain fiil dibaca dhommah) bermakna mendekati, mempelajari dan mengkaji.

Sebagian ulama mendefinisikan secara bahasa dengan makna pemahaman yang mendalam. Memahami omongannya, ungkapan dari orang yang menyampaikan sesuatu. Bisa difahami.

Al Fiqh menurut istilah adalah mengetahui hukum-hukum syari’at yang cara memahaminya dengan ijtihad.

Di kalangan ulama mutaakhirin, fiqih didefinisikan dengan redaksi:

معرفة الأحكام الشرعية العملية المكتسبة من أدلة التفصيلية (mengetahui hukum-hukum syariat yang bersifat amaliyah – penyebutan ini untuk membedakan hukum syariat yang bersifat i’tiqadiyah – yang didapatkan dari dalil-dalil yang terperinci).

Penjelasan Definisi:

Perkataan penulis: (معرفة). المعرفة itu mencakup dua hal. Pertama,  al Yaqîn. Kedua, al Dzan. Al Yaqîn adalah sesuatu yang bisa diketahui dengan pengetahuan yang pasti. Seperti pengetahuan bahwa shalat itu adalah lima. Zina itu haram.

Itu sudah sebagai pengetahuan yang sampai pada tingkat yakin. bukan baru sampai pada dzan. Jangankan orang dewasa, anak mumayyiz aja banyak yang sudah paham dan tahu bahwa shalat itu lima waktu.

Contoh lain, zina itu haram. Khamr itu haram. Judi itu haram. Itu semua sudah jadi pengetahuan umum. Orang pada umumnya sudah tahu. Pengetahuan seperti itu sudah sampai tingkat yakin. Tidak perlu lagi dibahas panjang lebar.

Sedang al Dzan adalah sesuatu yang diketahui dengan cara yang râjih (tidak sampai pada tingkat yakin tetapi pada posisi pengetahuan tentang hal tersebut lebih kuat atau dominan). Sebagaimana yang terdapat pada banyak masalah fiqih.

Dalam bahasan al Dzan, ada yang namanya al dzan al râjih yaitu mengarah pada hal tersebut namun belum sampai pada tingkat yakin. Menjadi suatu keharusan bagi yang hendak belajar fiqih harus memahami bahwa ketika masuk ke dalam bahasan fiqih, beberapa bahasannya tidak sampai pada tingkat yakin. Hanya pada tingkat râjih.

Dalam bahasan fiqih, ada pendapat yang râjih dan ada pendapat yang marjûh. Ketika bahasan fiqih itu hanya mampu sampai tingkat râjih, artinya di sisi lain ada yang berpendapat marjûh. Sikap menerima dan memberikan ruang pada orang yang berpendapat marjûh menjadi salah satu bahasan tentang adab-adab orang yang belajar fiqih. Dalam membahas fiqih, tidak bisa cara berfikir itu harus seragam. Menjadi sesuatu yang mengherankan jika ada orang belajar fiqih semakin sulit dalam melihat perbedaan pendapat. Ada problem dalam proses belajarnya.

Banyak masalah fiqih tidak sampai tingkat sepakat. Ijmak dalam fiqih itu sedikit dibanding yang tidak ijmak. Berusaha untuk mencari yang râjih itu pasti, tetapi harus ada ruang yang disediakan kalau ada orang yang masih punya pilihan yang berbeda.

Seperti persoalan witir. Pendapat jumhur witir itu sunnah.

Kalau menyebut pendapat jumhur itu sunnah berarti ada yang berpendapat tidak sunnah. Ini menunjukkan adanya perbedaan.

Zakat itu tidak wajib pada perhiasan yang hukumnya mubah menurut salah satu pendapat.

Zakat itu tidak wajib pada perhiasan yang mubah (dikenakan). Pembahasan fiqih seperti ini nanti di tempatnya.

Yang dimaksud dengan al marifat di sini adalah al dzan dikarenakan redaksi selanjutnya التي طريقها الاجتهاد. Redaksi tersebut merupakan sifat untuk kata al ma’rifat bukan untuk hukum syari’at.

Kalau seandainya al ma’rifat itu diartikan yakin, semuanya menjadi serba pasti dan tidak ada ruang perbedaan. Sedangkan dalam ijtihad, prinsipnya satu ijtihad dengan ijtihad lain bisa berbeda.

Sebab jika al ma’rifat itu menjadi sifat untuk hukum syari’at maka akan masuk dalam definisi ini pengetahuan orang yang taklid.

Fiqih dan ushul fiqih ruangnya ijtihad bukan taklid.  Taklid itu tinggal terima saja.

Redaksinya berubah menjadi mengetahui hukum-hukum syari’at lewat ijtihad dengan cara taklid.

Definisi ini menjadi tidak nyambung.

Jika redaksi التي طريقها الاجتهاد dijadikan sifat untuk kata al ma’rifat maka orang yang taklid dikeluarkan (dari definisi tersebut).

Sehingga definisi fiqih menjadi begini: Fiqih adalah pengetahuan yang cara memperolehnya lewat Ijtihad. Sedangkan orang yang taklid pengetahuannya tidak lewat ijtihad melainkan lewat taklid. Sebagaimana akan datang pembahasan terkait orang-orang tersebut di akhir kitab al waraqat.

Sebagaimana yang sudah disampaikan bahwa pembahasan orang yang membahas ushul fiqih ini tempatnya di belakang. Sedangkan taklid bisa kepada guru, ustadz, kyai atau siapapun.

Perkataan penulis: (al ahkâm al syar’iyyah) yang diambil dari syari’at yang dibawa oleh Nabi Shallallâhu ‘alaihi Wasallam.

Al Ahkam al syar’iyyah itu sumbernya syariat dimana Nabi Shallallâhu ‘alaihi Wasallam diutus untuk membawa syariat ini. Ketika berbicara syariat itu selalu tidak bisa lepas dengan Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi Wasallam.

Contoh al ahkâm al syar’iyyah: wajib, mustahab, haram dan yang lainnya.

Mustahab lebih populer dengan istilah sunnah.

Dan diberikan batasan dengan kata al syar’iyyah maka akan keluar dari situ

  1. al ahkâm al aqliyyah, seperti pengetahuan bahwa satu adalah setengah dari dua
  2. al ahkâm al hissiyyah(hukum-hukum yang bisa ditangkap dengan indera), seperti pengetahuan api itu panas
  3. al ahkâm al âdiyah (hukum-hukum yang sudah menjadi pengetahuan orang secara luas), seperti pengetahuan turunnya hujan setelah melihat kilat dan petir

Semua itu dikeluarkan dari bahasan. Termasuk hukum-hukum yang lain. Seperti hukum-hukum yang berkaitan dengan hukum lalu-lintas, hukum yang berada dalam sebuah negara. Dan lain-lain.

Perkataan penulis: (التي طريقها الاجتهاد) sudah disampaikan di awal, sebagai sifat pada kata al ma’rifat. Maksudnya mengetahui hukum-hukum tersebut cara menetapkannya melalui ijtihad. Ijtihad adalah mengerahkan semua kemampuan, potensi yang dimiliki untuk mengetahui hukum syar’i.

Kalau berbicara ijtihad berarti kerja kerasnya luar biasa. Proses mencarinya panjang. Selain itu, modal dasarnya juga tidak sembarangan. Dalam ijtihad ada bahasan yang berkaitan dengan potensi atau modal dasar orang yang akan berijtihad disebut mujtahid. Juga ada bahasan proses mencarinya.

Bisa dibayangkan ketika imam Ibnu Rajab atau Imam Ibnul qayyim ketika menyebutkan bahwa dalil untuk sebuah bahasan lebih dari 100.  Itu artinya beliau sudah mencari dan meneliti. Semua itu tentu menghabiskan perjalanan yang panjang. Itulah yang dinamakan ijtihad.

Maka bagi yang modal dasarnya tidak kokoh, baik itu bahasa arab, pembahasan ushul fiqih, qawaid fiqihnya, kaidah-kaidah tarjih ditambah pada saat membahas yang dijadikan referensi sangat minim itu tidak layak untuk ijtihad.

Seperti niat itu wajib pada wudhu. Al fatihah itu wajib dibaca pada shalat sirriyah dan jahriyah menurut salah satu pendapat. Dan yang lainnya di situ terjadi perbedaan pendapat.

Kesimpulan niat itu wajib, Kenapa istilah yang dipilihkan itu wajib, bukan sunnah, mubah atau pun hukum yang lain tentu pilihan-pilihan itu dari proses pencarian dan kerja keras yang panjang.

Adapun cara menetapkan nya itu dengan memastikan bahwa itu sudah qathi’ (pasti), seperti shalat itu wajib, zina itu haram dan yang lainnya dari masalah-masalah yang sudah qathi.  maka cara mengetahuinya tidak dinamakan fiqih menurut istilah sebagaimana yang disebutkan penulis. Karena baik itu orang khusus (para ulama) atau pun orang umum mengetahui hal yang seperti itu. Fiqih dengan definisi seperti ini adalah fiqih yang di dalamnya ada upaya dari mujtahid untuk sampai pada kesimpulan hukumnya.

Inilah definisi ushul fiqih yang dilihat dari dua kata pembentuknya. Sedangkan definisi yang kedua dilihat dari sisi sebagai nama yang sudah memiliki pembahasan tersendiri sebagai cabang ilmu, penulis akan menyebutkan bahasan ini setelah hukum-hukum syar’i. wallahu a’lam.

Inilah contoh pentingnya orang yang akan memberikan syarh memahami betul kandungan buku yang akan disyarh. Sehingga pada saat ada pertanyaan seperti itu langsung bisa menyampaikan nanti akan dibahas di belakang setelah bahasan ini” maka jika seorang betul-betul paham dan menguasai tidak selalu semua bahasan itu jelaskan ketika muncul pertanyaan.

Check Also

011. Syarah Waraqat – Sebagian Hukum Wad’i (Shahih dan Bathil)

  Sebagian Hukum Wad’i   Kesempatan ini masuk ke bahasan ahkâm Wad’i. lebih tepatnya sebagian …