Home » Akhbaar » “Amien Rais Mengkritik Pluralisme Kebablasan”

“Amien Rais Mengkritik Pluralisme Kebablasan”

Oleh: Dr. Adian Husaini

Peringatan Amien sangat penting, sebab ada sejumlah dosen di lingkungan Muhammadiyah aktif menyebarkan paham Pluralisme. CAP ke-282
Tokoh senior Muhammadiyah, Prof. Dr. M. Amien Rais membuat pernyataan yang mengagetkan bagi banyak kaum liberal di Indonesia. Dalam wawancara dengan Majalah Tabligh terbitan Majelis Tabligh dan Dakwah Khusus PP Muhammadiyah, edisi Maret 2010, Amien Rais secara terbuka mengkritik tokoh-tokoh dan aktivis Muhammadiyah yang sudah secara kebablasan menyebarkan paham Pluralisme dan meninggalkan wacana Tauhid. Untuk lebih jelasnya, kita ikuti sebagian wawancara tersebut.

Pandangan Anda mengenai aliran pluralisme?
Akhir-akhir ini saya melihat istilah pluralisme yang sesungguhnya indah dan anggun justru telah ditafsirkan secara kebablasan. Sesungguhnya toleransi dan kemajemukan telah diajarkan secara baku dalam Al-Quran. Memang Al-Quran mengatakan hanya agama Islam yang diakui di sisi Allah, namun koeksistensi atau hidup berdampingan secara damai antar-umat beragama juga sangat jelas diajarkan melalui ayat, lakum diinukum waliyadin. Bagiku agamaku dan bagimu agamamu. Dalam istilah yang lebih teknis, wishfull coexistent among religions, atau hidup berdamai antar umat beragama di muka bumi.

Tidak ada yang keliru dari aliran pluralisme ?
Nah, karena itu tidak ada yang salah kalau misalnya seorang Islam awam atau seorang tokoh Islam mengajak kita menghormati pluralisme. Karena tarikh Nabi sendiri itu juga penuh ajaran toleransi antarberagama. Malahan antar-umat beragama boleh melakukan kemitraan di dalam peperangan sekalipun. Banyak peristiwa di zaman Nabi ketika umat Nasrani bergabung dengan tentara Islam untuk menghalau musuh yang akan menyerang Madinah.

Apa yang dibablaskan ?
Saya prihatin ada usaha-usaha ingin membablaskan pluralisme yang bagus itu menjadi sebuah pendapat yang ekstrim, yaitu pada dasarnya mereka mengatakan agama itu sama saja. Mengapa sama saja? Karena tiap agama itu mencintai kebenaran. Dan tiap agama mendidik pemeluknya untuk memegang moral yang jelas dalam membedakan baik dan buruk. Saya kira kalau seorang muslim sudah mengatakan bahwa semua agama itu sama, maka tidak ada gunanya sholat lima waktu, bayar zakat, puasa Ramadhan, pergi haji, dan sebagainya. Karena itu agama jelas tidak sama. Kalau agama sama, banyak ayat Al-Quran yang harus dihapus. Nah, kalau sampai ajaran bahwa “semua agama sama saja” diterima oleh kalangan muda Islam; itu artinya, mereka tidak perlu lagi sholat, tidak perlu lagi memegang tuntunan syariat Islam. Kalau sampai mereka terbuai dan terhanyutkan oleh pendapat yang sangat berbahaya ini, akhirnya mereka bisa bergonta-ganti agama dengan mudah seperti bergonta-ganti celana dalam atau kaos kaki.

Apakah kebablasan pluralisme karena faktor kesengajaan atau rekayasa?
Saya kira jelas sekali adanya think tank atau dapur-dapur pemikiran yang sangat tidak suka kepada agama Allah, kemudian membuat bualan yang kedengarannya enak di kuping: semua agama itu sama. Jika agama itu sama, lantas apa gunanya ada masjid, ada gereja, ada kelenteng, ada vihara, ada sinagog, dan lain sebagainya.

Yang dimaksud dengan think tank ?
Saya yakin think tank itu ada di negara-negara maju yang punya dana berlebih, punya kemewahan untuk memikirkan bagaimana melakukan ghazwul fikri (perang intelektual terhadap dunia Islam). Misalnya, kepada dunia Islam ditawarkan paham lâ diniyah sekularisme yang menganggap agama tidak penting, termasuk di dalamnya pluralisme, yang kelihatannya indah, tapi ujung-ujungnya adalah ingin menipiskan aqidah Islam supaya kemudian kaum Muslim tidak mempunyai fokus lagi. Bayangkan kalau intelektual generasi muda Islam sudah tipis imannya, selangkah lagi akan menjadi manusia sekuler, bahkan tidak mustahil mereka menjadi pembenci agamanya sendiri.

Sepertinya aliran pluralisme itu sudah masuk ke kalangan muda Muhammadiyah, pendapat Anda?
Kalau sampai aliran pluralisme masuk ke kalangan muda Muhammadiyah, ini musibah yang perlu diratapi. Oleh karena itu, saya menganjurkan sebelum mereka membaca buku-buku profesor dari Amerika dan Eropa, bacalah Al-Quran terlebih dahulu. Saya sendiri yang sudah tua begini, 66 tahun, sebelum saya membaca buku-buku Barat, baca Al-Quran dulu. Karena orang yang sudah baca Al-Quran, dia akan sampai pada kesimpulan bahwa berbagai ideologi yang ditawarkan oleh manusia seperti mainan anak-anak yang tidak berbobot. Jika meminjam istilah Sayyid Quthb, seorang yang duduk di bawah perlindungan Al-Quran ibarat sedang duduk di bukit yang tinggi, kemudian melihat anak-anak sedang bermain-main dengan mainannya. Orang yang sudah paham Al-Quran akan bisa merasakan bahwa ideologi yang sifatnya man-made, buatan manusia, itu hanya lucu-lucuan saja. Hanya menghibur diri sesaat, untuk memenuhi kehausan intelektual ala kadarnya. Setelah itu bingung lagi.

Kenapa paham pluralisme itu bisa masuk ke kalangan muda Muhammadiyah? Apa karena Muhammadiyah terlalu terbuka atau karena sistem kaderisasi?
Hal ini perlu dipikirkan oleh pimpinan Muhammadiyah. Saya melihat, banyak kalangan muda Muhammadiyah yang sudah eksodus. Kadang-kadang masuk ke gerakan fundamentalisme, tapi juga tidak sedikit yang masuk Islam Liberal. Islam yang sudah melacurkan prinsipnya dengan berbagai nilai-nilai luar Islam. Hanya karena latah. Karena ingin mendapatkan ridho manusia, bukan ridho Ilahi. Oleh karena itu, lewat majalah Tabligh, saya ingin mengimbau kepada anak-anak saya, calon-calon intelektual Muhammadiyah, baik putra maupun putri, agar menjadikan Al-Quran sebagai rujukan baku. Saya pernah tinggal di Mesir selama satu tahun. Saya pernah diberitahu oleh doktor Muhammad Bahi, seorang intelektual Ikhwan, ketika saya bersilaturahmi ke rumah beliau, beliau mengatakan, “Hei kamu anak muda, kalau kamu kembali ke tanah airmu, kamu jangan merasa menjadi pejuang Muslim kalau kamu belum sanggup membaca Al-Quran satu juz satu hari.”

Waktu itu saya agak tersodok juga, tetapi setelah saya pikirkan, memang betul. Kalau Al-Quran sebagai wahyu ilahi yang betul-betul membawa kita kepada keselamatan dunia-akhirat, kita baca, kita hayati, kita implementasikan, kehidupan kita akan terang benderang. Tapi kalau pegangan kita pada Al-Quran itu setengah hati. Kemudian dikombinasikan dengan sekularisme, dengan pluralisme tanpa batas, dengan eksistensialisme, bahkan dengan hedonisme, maka kehidupan kita akan rusak. Sehingga betul seperti kata pendiri Muhammadiyah dalam sebuah ceramah beliau, “Ad-dâ’u musyârokatullâ hi fii jabarûtih”. Namanya penyakit sosial, politik, hukum, dan lain-lain, itu sejatinya bersumber kepada menyekutukan Allah dalam hal kekuasaannya. Obatnya bukan menambah penyakit, yakni dengan isme-isme yang kebablasan, tapi obatnya itu, “adwâ’uhâ tauhîddullâhi haqqa”. Obatnya adalah tauhid dengan sungguh-sungguh.

Jadi, saya juga ingat dengan kata-kata Mohammad Iqbal: “The sign of a kafir is that he is lost in the horizons. The sign of a Mukmin is that the horizons are lost in him.”. Saya pernah termenung beberapa hari setelah membaca pernyataan Mohammad Iqbal yang sangat tajam itu. Karena betapa seorang mukmin akan begitu jelas, begitu paham, begitu terang benderang memahami persoalan dunia. Sedangkan orang kafir, bingung dan tersesat.

Sepertinya Muhamadiyah mulai terseret arus pluralisme, contohnya pada saat peluncuran novel Si Anak Kampoeng. Penulisnya mengatakan sebagian dari keuntungan penjualan akan digunakan untuk membentuk Gerakan Peduli Pluralisme, pandangan Anda ?
Saya tidak akan mengomentari apa dan siapa. Cuma adik saya yang anggota PP Muhammadiyah, pernah memberikan sedikit kriteria atau ukuran yang sangat bagus. Dia bilang begini, “Kalau orang Muhammadiyah sudah tidak pernah bicara tauhid dan malah bicara hal-hal di luar tauhid, apalagi kesengsrem dengan pluralisme, maka perlu melakukan koreksi diri.” Apakah itu tukang sapu di kantor Muhammadiyah, apakah tukang pembawa surat di kantor Muhammadiyah, apakah profesor botak, sama saja. Kalau sudah tidak kerasan berbicara tauhid, mau dikemanakan Muhammadiyah? Muhammadiyah ini bisa bertahan sampai satu abad, tetap kuat, tidak pikun, dan masih segar, karena tauhidnya. Implementasi tauhidnya di bidang sosial, pendidikan, hukum, politik, itu yang menjadikan Muhammadiyah perkasa dan tidak terbawa arus.
******

Demikianlah wawancara Amien Rais dengan Majalah Tabligh Muhammadiyah. Tidak dapat dipungkiri, bagi kita yang sering membahas bahaya paham Pluralisme Agama, peringatan Amien Rais tesebut sangatlah menggembirakan. Kita gembira, karena ada tokoh yang selama ini banyak berkecimpung di dunia politik, yang biasanya enggan bicara dalam tataran ideologis, justru secara terbuka menyatakan pendiriannya soal akidah Islam.

Simaklah kembali, kata-kata Amien Rais: ”Apakah itu tukang sapu di kantor Muhammadiyah, apakah tukang pembawa surat di kantor Muhammadiyah, apakah profesor botak, sama saja. Kalau sudah tidak kerasan berbicara tauhid, mau dikemanakan Muhammadiyah?”

Peringatan Amien Rais ini sangat penting, sebab tidak dapat dipungkiri, memang ada sejumlah dosen bahkan profesor di lingkungan Muhammadiyah yang sangat aktif menyebarkan paham Pluralisme Agama. Pada CAP ke-262, kita membahas pemikiran seorang Profesor di Jawa Timur yang secara terbuka mengusulkan perlunya kampus-kampus Muhammadiyah menyelenggarakan studi-studi agama berbasis multikulturalisme; bukannya Studi Agama berbasis Tauhid.

Misalnya, ia mengusulkan, agar:  ”Studi agama di Perguruan Tinggi Muhammadiyah perlu mempertimbangkan multikulturalisme dan modal sosial. Inti dari studi agama adalah mengembangkan pemahaman terhadap pelbagai dimensi yang terdapat dalam agama.”  Katanya lagi, ”Studi agama berbasis multikulturalisme, dengan demikian, dapat diartikan sebagai suatu usaha mengembangkan mengembangkan  pemahaman agama yang menghargai perbedaan dan kesediaan bekerjasama atas dasar persamaan kemanusiaan.”

Sang profesor juga mempromosikan gagasan Kesatuan Transendensi Agama-agama, seperti ditulisnya: ”Upaya mencari titik temu antarpelbagai kelompok agama secara lebih mendasar dikembangkan oleh seorang tokoh mistikus kontemporer Frithjop Schuon (1984). Gagasan Frithjop Schuon dikatakan lebih mendasar karena menjadikan dimensi transendental agam-agama. Bagi Frithjop Schuon, di balik perbedaan pada masing-masing agama, tetap ada peluang dipertemukan mengingat kesamaan pada dimensi transendentalnya. Semua agama, apapun bentuk eksoteriknya (tata cara beribadah, tempat ibadah, ungkapan-ungkapan bahasa agama, dan perbedaan bersifat simbolik lainnya), kata Frithjop Schuon, berjumpa pada ranah transendental, yaitu Tuhan. Inilah dimensi esoterik agama, sekaligus jantung semua agama (the heart of religion).”

Di Yogyakarta ada seorang profesor yang juga aktif di lingkungan Muhammadiyah dan sangat aktif menyebarkan paham Pluralisme Agama. Dalam sebuah bukunya yang berjudul Kesalehan Multikultural (2005),  sang profesor dari UIN Yogya ini malah menolak Pendidikan Tauhid seperti yang dipahami kaum Muslim selama ini. Sebagai gantinya, dia mengajukan gagasan  ’Pendidikan Islam Multikultural’. Ia menulis:

”Jika tetap teguh pada rumusan tujuan pendidikan (agama) Islam dan tauhid yang sudah ada, makna fungsional dan rumusan itu perlu dikaji ulang dan dikembangkan lebih substantif. Dengan demikian diperoleh suatu rumusan bahwa Tuhan dan ajaran atau kebenaran yang satu yang diyakini pemeluk Islam itu bersifat universal. Karena itu, Tuhan dan ajaran-Nya serta kebenaran yang satu itu mungkin juga diperoleh pemeluk agama lain dan rumusan konseptual yang berbeda. Konsekuensi dari rumusan  di atas ialah bahwa Tuhannya pemeluk agama lain, sebenarnya itulah Tuhan Allah yang dimaksud dan diyakini pemeluk Islam. Kebenaran ajaran Tuhan yang diyakini pemeluk agama lain itu pula, sebenarnya yang merupakan kebenaran yang diyakini oleh pemeluk Islam.” (hal. 182-183).

Masih di Yogya, dalam bukunya yang berjudul Syariah Demokratik (2004), seorang dosen Muhammadiyah mengusulkan agar pendidikan agama di sekolah-sekolah Muhammadiyah diubah menjadi Pendidikan Agama Islam berbasis teologi agama-agama. Ia menulis: ”Pendidikan agama Islam (termasuk aqidah-akhlak) harus dirumuskan menjadi sebuah pendidikan yang menuju pendidikan teologi agama-agama. Pendidikan ini merupakan pendidikan yang diangkat dari nilai-nilai universal agama-agama, diangkat dari realitas lapangan sehingga tidak ”melangit” tetapi ”membumi”. Dengan rumusan pendidikan aqidah-akhlak yang berperspektif agama-agama, maka pendidikan Islam (aqidah-akhlak) akan menjadi sebuah pendidikan yang mampu merespon persoalan-persoalan kontemporer.” (hal. 285-286).

Tentang pendidikan akhlak, dia contohkan: ”Bahkan apabila dimungkinkan pendidik harus pula mengemukakan contoh yang datang dari orang yang tidak secara tegas mengatakan beragama Islam, Paus Johanes VII, Martin Luther, M.K. Gandhi, Sidharta Gautama, misalnya, atau siapa saja yang dianggap memiliki kelebihan-kelebihan.” (hal. 275).

Yang sangat terkenal juga sebagai penyokong berat paham pluralisme adalah seorang profesor yang juga mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah. Meskipun ia berulangkali menyangkal definisi pluralisme sebagai paham yang menyatakan, ”semua agama adalah sama”, tetapi faktanya, dia menjadi pendukung aktif kaum pluralis yang berpaham seperti itu. Sebagai contoh bisa dilihat dalam dukungan dan pujian sang profesor ini terhadap buku Argumen Pluralisme Agama, Membangun Toleransi Berbasis Al-Quran (2009), karya Abd Moqsith Ghazali. Terhadap karya ini, sang profesor yang juga alumnus Chicago University ini menulis: ”Al-Quran, jika dipahami secara jujur dan cerdas, bersikap lebih toleran dibandingkan dengan sikap sebagian umat Islam yang berpikir parsial. Intelektual muda Muslim Abd. Moqsith Ghzali telah bertungkus lumus meneliti pandangan Islam terhadap pluralisme agama berdasarkan dalil-dalil normatif dan historis yang dipahami secara adil dan proporsional, sebuah upaya akademik yang bernilai tinggi dan berjangkauan jauh.” (sampul belakang).

Padahal, dalam buku ini, Abd. Moqsith Ghazali secara telanjang memaparkan bagaimana pandangannya terhadap paham Pluralisme Agama yang pada dasarnya menyamakan kebenaran semua agama. Misalnya, ia mengutip QS al-Baqarah ayat 62 sebagai landasan untuk menyatakan, bahwa pemeluk agama apa pun – tanpa perlu beriman kepada Nabi Muhammad saw – tetap dapat menerima pahala dari Allah:  ”Jika diperhatikan secara seksama,  jelas bahwa dalam ayat itu tak ada ungkapan agar orang Yahudi, Nashrani, dan orang-orang Shabi’ah beriman kepada Nabi Muhammad. Dengan mengikuti pernyataan eksplisit ayat tersebut, maka orang-orang beriman yang tetap dengan keimanannya, orang-orang Yahudi, Nashrani, dan Shabi’ah  yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir serta melakukan amal saleh – sekalipun tak beriman kepada Nabi Muhammad, maka mereka akan memperoleh balasan dari Allah. Pernyataan agar orang-orang Yahudi, Nashrani, dan Shabi’ah beriman kepada Nabi Muhammad adalah pernyataan para mufasir dan bukan ungkapan al-Quran. Muhammad Rasyid Ridla berkata, tak ada persyaratan bagi orang Yahudi, Nashrani, dan Shabi’ah untuk beriman kepada Nabi Muhammad.” (hal. 249).

Lebih jelas lagi, pada bagian kesimpulan, buku yang dipuji oleh sang Profesor ini menegaskan: ”Terhadap siapa saja yang beriman kepada Allah, meyakini Hari Akhir, dan melakukan amal kebajikan, al-Quran menegaskan bahwa mereka, baik beragama Islam maupun bukan, kelak di akhirat akan diberi pahala. Tak ada keraguan bahwa orang-orang seperti ini akan mendapatkan kebahagiaan ukhrawi. Ini karena, sebagaimana dikemukakan Muhammad Rasyid Ridla, keberuntungan di akhirat tak terkait dengan jenis agama yang dianut seseorang. Nabi Muhammad pernah bersabda bahwa Waraqah ibn Naufal, seorang pendeta Kristen, akan masuk surga.” (hal. 392).

Tentu saja, kutipan pendapat Rasyid Ridla dan sabda Nabi Muhammad saw tersebut tidak benar. Rasyid Ridla tidak berpendapat seperti itu. Hal ini sudah beberapa kali kita bahas. Begitu juga, Waraqah adalah pendeta yang beriman kepada kenabian Muhammad saw, sebagaimana Najasyi. Jadi, kesimpulan dalam buku ini sangatlah keliru. Jika memang semua pemeluk agama apa pun dapat diterima amalnya dan mendapatkan pahala, tanpa memandang agamanya apa, lalu apa logikanya, Islam membedakan antara orang mukmin, kafir, muysrik, munafik, dan sebagainya?  Untuk apa Rasulullah saw mengajak umat manusia, apapun  agamanya, agar memeluk Islam, bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah? Juga, bukankah agama-agama di dunia ini begitu banyak dan beragam jumlahnya?!

Karena itu, kesimpulan buku yang mempromosikan paham Pluralisme semacam ini, sangatlah naif dan absurd. Tetapi, justru profesor kenamaan yang mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah justru memuji-mujinya setinggi langit. Karena itu, bisa dipahami, jika seorang tokoh seperti Amien Rais kemudian melihat penyebaran paham Pluralisme di lingkungan Muhammadiyah oleh sejumlah oknum tersebut sudah kebablasan, sampai dia sampai pada kesimpulan:  ”Apakah itu tukang sapu di kantor Muhammadiyah, apakah tukang pembawa surat di kantor Muhammadiyah, apakah profesor botak, sama saja. Kalau sudah tidak kerasan berbicara tauhid, mau dikemanakan Muhammadiyah?”

Kita berdoa, semoga Amien Rais, kita semua, dan para tokoh Muhammadiyah senantiasa dibimbing oleh Allah untuk dapat berpegang teguh pada kalimah Tauhid dan tidak terjerumus ke dalam paham-paham syirik dan kekufuran, meskipun paham itu dikemas dan dikemukakan dalam bahasa dan ungkapan-ungkapan yang menawan dan memukau banyak manusia.  [Depok, Akhir Maret 2010]

Catatan Akhir Pekan [CAP] adalah hasil kerjasama antara Radio Dakta 107 FM dan www.hidayatullah.com

Check Also

014. Syarah Waraqat – Definisi Dzan dan Syak

Definisi al Dzan dan al Syak Bahasan ini merupakan bahasan terakhir sebelum masuk ke bahasan …

One comment

  1. Muhammad Aliya Imaduddin

    Assalamu Alaikum Ustadz, Alhamdulillah…

    Sewaktu Baitul Arqam saya sempat ingin menyanggah perkataan seorang Dosen UMY. Beliau mengatakan Sunni dan Syi’ah bisa bersatu…. apakah ini benar Ustadz…. atau termasuk kebablasan???

    Syukran, Wa ‘alaikumussalam Wa rahmatullah.